Masjid Oman Al-Makmur | 3 Muharram 1423 H.
Ketika kami sedang safari keluarga di Suak Timah Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat, gawai saya bergetar bersamaan notifikasi masuknya posting whatsapp di WAG “Pria Bersahaja” sebuah group WA tempat mangkalnya para purnabhakti Hakim Mahkamah yang sedang jomblo. Tgk. H. Soufyan M. Saleh salah seorang member group ini sekarang tidak jomblo lagi namun masih setia menghiasi laman group ini dengan posting-posting yang bervariasi. Kali ini posting beliau tentang “nostalgia” di milad 19 Mahkamah Syar’iyah.
Beliau mencatat bahwa Milad Mahkamah Syar’iyah pertama pernah diperingati dalam kondisi prihatin 2005 pasca gempa dan tsunami yang meluluh lantakkan beberapa dedung kantor Mahkamah Syar’iyah seperti Mahkamah Syar’iyah Calang, Mahkamah Syar’yah Sinabang, Mahkamah Syar’iyah Singkil, Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Mahkamah Syar’Iyah Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Sekarang semuanya sudah direlokasi ke tempat yang baru, meskipun gedungnya masih peninggalan BRR dan belum dibangun memenuhi type standar Mahkamah Agung, kecuali MS Banda Aceh dan MS (Provinsi) Aceh.
Milad ke tiga diperingati mengambil tempat di Calang lokasi Mahkamah Syar’yah Calang yang dihadiri sekretaris Ditjen Badilag. Lebih lanjut Tgk. H. Soufyan M. Saleh menulis bahwa Kelahiran Mahkamah Syar’yah sebagai amanat Undang-undan Nomor 18 Tahun 2001 penuh lika-liku perjuangan yang berat dan tidak mudah untuk meyakinkan Jakarta sejak dari kementerian sampai dengan presiden. Itulah sebabnya pak Bagir Manan mengatakan bahwa kelahiran Mahkamah Syar’iyah telah merubah sistem ketatanegaraan kita. Dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat Aceh dengan sedikit bercanda beliau berucap apa yang diminta rakyat Aceh akan kita berikan kecuali merdeka. Kita masih ingat tahun 2000 sd 2003 konflik Aceh sedang membara 2 (dua) orang rektor yaitu Rektor IAIN Ar-Raniry Allah Yarhamhu Prof. Dr. Safwan Idris dan Rektor Universitas Syiah Kuala Allah Yarhamhu Prof. Dr. Dayan Dawood dan 1 (satu) orang Jendral Purn. TNI AD. Allah Yarhamhu Teuku H. Johan tewas ditembak OTK, ribuan gedung sekolah dibakar OTK, puluhan rakyat terbunuh ketika itulah saya ditugaskan ke Aceh menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh (sekarang MS Aceh) mutasi dari Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jambi. Apakah kelahiran Mahkamah Syar’iyah ada hubungannya dengan penyelesaian konflik? Tanya Tgk. H. Soufyan M. Saleh dalam postingnya di WAG tersebut, yang dilanjutkan dengan tulisan bahwa Mahkamah Syar’iyah dengan kewenangannya yang amat luas (bid.keluarga, Muamalat dan jinayat) inilah satu-satunyanya peradilan Islam di Dunia.
Beliau menambahkan bahwa pembahasan kelahiran Mahkamah Syar’iyah melibatkan seluruh instansi di Jakarta termasuk Kementerian Hankam dan BIN. Itulah sebabnya tidak salah bila ada pandangan bahwa Mahkamah Syar’iyah dari berbagai aspek adalah sesuatu yang impossible menjadi possible dengan kehendak Allah. Alhamdulillah pada waktu itu saya dengan berbagai keterbatasan sebagai KPTA silih berganti mendampingi Gubernur Aceh Abdullah Puteh datang ke Jakarta bersama rombongan rekan-rekan DPRA Tgk. Muhammad Yus (Abu Yus, Azhari Basar, Waisul Qarani Ali, dll. Mewakili Pemerintahan Aceh Husni Bahri Tob, Sayuti is, Salam Pohroh sekwan dll.
Kelahiran Mahkamah Syar’iyah terdengar dan menarik perhatian Raja Arab Saudi dengan mengundang 40 orang Hakim Mahkamah Syar’iyah ikut pelatihan sekaligus berhaji selama dua bulan di Arab Saudi. Patutlah kelahiran Mahkamah Syar’iyah Aceh diperingati sebagai ujud syukur kepada Allah. Amin. Sebut Tgk. H. Soufyan Saleh mengakhiri postingnya.
Apa yang ditulis dalam posting Tgk. H. Soufyan Saleh ( Pak Yan) tersebut sebenarnya adalah secuil dari catatan sejarah kelahiran Mahkamah Syar’iyah di Aceh dimana Pak Yan adalah salah seorang Bidannya yang sangat gigih. Kepulangan Pak Yan ke Aceh menjadi Ketua PTA Banda Aceh menggantikan Drs. H. Mahfudh Arhasy yang dimutasikan menjadi Ketua PTA Jambi (tukaran tempat tugas dengan Pak Yan) yang dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 21 September 2000 adalah momentum yang tepat. Waktu itu penulis sudah bertugas di PTA Banda Aceh sebagai hakim tinggi.
Benar sebagaimana postingan Pak Yan bahwa waktu itu sedang berkecamuk peperangan di Aceh antara ABRI dengan Pasukan GAM yang dipimpin oleh Tgk. Abdullah Syafi’iy. Pemerintah pusat dan DPR mencari solusi secara persuasif untuk meradakan kondisi instabilitas yang terjadi di Aceh. Tokoh-tokoh politik asal Aceh yang berada di Senayan sebagai anggota DPR dan DPD menawarkan suatu solusi untuk merealisasikan keistimewaan yang pernah diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh yang dalam perjalanannya sudah teranulir atau tergurus dengan berbagai Undang-undang yang lahir kemudian (bulian politikpun bermunculan, apa yang hebat orang Aceh rencong kiri rencong kanan sampai di Kota Medan saja dompetnya hilang). Maka pada tahun 1999 diluncurkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang disahkan pada tanggal 4 Oktober 1999 dan ditanda tangani oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Kehadiran Undang-undang ini kenyataannya belum memberi dampak significan dalam meredam semangat berperang dari GAM. Dua tahun kemudian diluncurkan lagi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada tanggal 9 Agustus 2001 dan ditanda tangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar diundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, diantaranya adalah bahwa pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hal asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; bahwa salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan yang tidak kalah pentingnya adalah pertimbangan bahwa bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Peluncuran undang-undang pemberian otonomi khusus kepada Aceh ini ternyata kemudian dibarengi dengan pressure darurat militer berdasarkan Keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri Nomor 28 Tahun 2003 tanggal 19 Mei 2003, setelah itu dengan Keputusan Pesiden Nomor 43 Tahun 2004 diturunkan statusnya menjadi darurat sipil.
Tanggal 26 Desember 2004 hari Ahad pagi gempa besar dengan magnitudo 9,3 SR mengguncang wilayah Aceh dan Sumatera Utara yang disusul gelombang tsunami yang menyapu dan merubuhkan banyak bangunan selain menenggelamkan dan ratusan ribu orang meninggal dunia / hilang di sebahagian daratan pesisir Aceh. Peringatan Allah Subhanahu Wata’ala yang mencengangkan dunia Internasional ini telah melunakkan hati Pemerintah Indonesia dan GAM untuk mengakhiri konflik bersenjata dengan perundingan yang berhasil dicapai suatu kesepakatan perdamaian yang dituangkan dalam suatu MOU pada tanggal 15 Agustus 2005 dengan mengambil tempat di Helsinki yang adem ibukota Republik Finlandia. (Bersambung pada Bagian ke II)