Yang Habis Itulah Yang Tersisa

Artikel dikutip dari chatting sebuah WA Group

Mulai ketemu alasan kenapa sebagian pengurus masjid lebih senang menghabiskan dananya untuk asset fisik, ketimbang habis dibagi ke ummat, seperti sembako atau menyediakan makan di masjid. Karena asset fisik ini bisa dilihat, dipandang-pandangi, dikagum-kagumi, dan dianggap cuma ngubah uang masjid jadi barang.

Bagitu juga dengan kebanyakan kaum muslimin, semangat sekali wakaf tanah, semangat bangun madrasah, tetapi ketika bicara gaji ustadz, gaji pengajar, makan santri, dirinya mendadak pelit. Entah kenapa. Akhirnya gedung-gedung entitas dakwah nganggur gak ada program, karena manusianya habis.

Ada cacat berfikir pada konsep belanja anggaran dakwah. Pembelanjaan yang dirasa tepat itu hanya apabila uang jadi gedung, jadi menara, jadi marmer, jadi asset bergerak yang bisa dipamer-pamer. Sementara belanja yang habis, operational expenditure, opex, seperti upah takmir, bagi beras ke dhuafa, bayarin kontrakan saudara kita yang di PHK, gak dianggap tepat dan strategis.

Akhirnya ambulance masjid dipamer-pamer di halaman masjid, tapi gak ada supirnya, karena gak ada post gaji dedicated supir. Apalagi bicara bensin operasional, pelayanan ummat, jauh jauh. Kalo ada jenazah, tetap saja keluarga harus bayar.

Akhirnya Rumah Quran gagah berdiri, samping masjid, grand openingnya heboh, gurunya gak ada, andai kata ada, santri nya kurang gizi, nyediain makannya gak mau, ngasih opex untuk Rumah Quran nya itungan. Pelit banget.

Padahal yang habis itulah yang tersisa nanti di akhirat.

Simak hadist cukup panjang berikut ini, baca perlahan, semoga ada keinsyafan di hati :

“Ketika Sayyidah Aisyah ra menghidangkan makanan kesukaan Rasulullah yaitu paha domba (kambing). Rasulullah bertanya : “Wahai Aisyah, apakah sudah engkau berikan kepada Abu Hurairah tetangga kita ? Aisyah menjawab: “Sudah ya Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah bertanya lagi:
“Bagaimana dengan Ummu Ayman?” Aisyah kembali menjawab: “Sudah ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah bertanya lagi tentang tetangga-tetangganya yang lain, adakah sudah di beri masakan tersebut, sampai Aisyah merasa penat menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah.”

Sampai Aisyah menegaskan kalau semua makanan sudah habis dibagikan kepada tetangga. Yang tersisa hanya beberapa potong daging untuk disantap Rasulullah dan Aisyah.

“Aisyah kemudian menjawab:
“Sudah habis ku berikan, Ya Rasulullah … Yang tinggal apa yang ada di depan kita saat ini …” ujar Aisyah.

Mendengar jawaban sang istri, Rasulullah lantas tersenyum dan mengatakan kalimat singkat namun mendalam.

“Engkau salah Aisyah, yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.”
(HR. Ath-Thirmidzi)

“Yang habis adalah yang kita makan ini, yang tersisa apa yang kita sedekahkan.” Ini harusnya jadi cara berfikir mendalam.

Maka tenang saja, beras yang kita bagi ke dhuafa disekitaran wilayah masjid, itulah nanti yang tersisa di akhirat. Saldonya di akhirat. Pasti dilipat-gandakan Allah. Gak akan hilang.

Maka rileks saja, makan-makan yang disediakan ke ummat, itulah yang nanti tersisa di akhirat, menumpuk disana. Gak akan hilang kok Pak, Bu. Maka ramailah masjid. Makmurlah masjid.

Sedangkan marmer insyaAllah bernilai wakaf, ketika dipakai terus oleh ummat. Kalo masjidnya sepi, kan kasihan marmer wakafnya, gak jalan jariyah wakafnya.

Makadari itu, cukup-cukuplah kita jadi pemuja-muja bangunan, pemuja-muja keindahan kubah, pemuja-muja tingginya menara, namun masjid sepi program.

Banyak juga masjid yang megah dan bagus, programnya bagus juga. Ini baru top. An Namirah Lamongan, Izzatul Islam Bekasi. TOP. Masjid bagus, program gak malu-maluin.

Jangan sampai kita larut ke budaya Fir’aun, bikin bangunan tinggi piramid, mengkilap pualam, berlekuk harta benda kemewahan didalam chamber nya, tapi hanya untuk kuburan.

Lalu apa bedanya dengan bangunan yang dibangun megah, tetapi gak ada pelayanannya untuk ummat? Gak menjawab kelaparan, gak menjawab kebutuhan pendidikan masyarakat, gedungr megah yang sepi, kan jadi mirip sama gaya-gayanya Fir’aun.

Saya rasa begitu ya, kita ini mau bangun Masjid, bukan bangun Piramid. Tolong dibedakan. DNA Qorun tukang koleksi harta benda itu tolong dibuang jauh-jauh dalam mengelola masjid. Habiskan anggarannya pak, habiskan untuk ummat, realisasikan itu kas masjid baik-baik. Ummat nunggu peran masjid. Muliakan kehidupan para Ahli Quran.

Alirkan anggaran ke para anak-anak muda sholih hafidz Quran, jadikan Imam tetap masjid.

Alirkan anggaran ke para takmir pengelola Baitul Maal, rekrut eks bank, gaji, karyakan di Masjid. Mereka ngumpulin uang untuk riba bisa kok, apalagi ngumpulin ziswaf, pasti lebih baik.

Alirkan anggaran ke perawatan masjid. AC itu freonnya tolong diperhatikan. Cleaning Service itu tolong yang dedicated, jangan yang musiman. Malu sama tempat dugem maksiyat, lebih bersih dari masjid.

Alirkan anggaran secara imbang pada inftastruktur dan operasional, pada capex dan opex, pada mobil dan bensinya, pada mobil dan supirnya, pada AC dan isi ulang freonnya.

Semoga difahami ya,
Yang habis itulah, yang tersisa disana.

URS – Pengasuh Masjid BerkahBOX