Hasil penelitian yang berjudul Masjid Ramah Perempuan di Banda Aceh yang dilakukan Faradilla Fadlia, Ismar Ramadani, Siti Nur Zalikha menyimpulkan bahwa secara umum masjid di Banda Aceh belum responsif gender. Hal ini dapat dilihat dari beberapa temuan dalam penelitian ini. Pertama, fasilitas masjid tidak responsif gender, dimana fasilitas untuk pengunjung pria dan wanita tidak memadai sehingga menyebabkan ruang publik masjid tidak responsif gender. Beberapa fasilitas tersebut antara lain tempat wudhu pria dan wanita, kamar mandi, cermin, gantungan tas, sandal, AC, sekat antara shaf pria dan wanita, mukena, karpet, dan Alquran. Tidak disediakan karena anggapan, misalnya tidak ada tempat wudhu bagi perempuan karena anggapan perempuan sudah berwudhu dari rumah. Kedua, penataan ruang merugikan satu kelompok gender: Studi ini menemukan tiga hal yang dapat menggambarkan bagaimana gender perempuan dirugikan oleh penataan ruang. Pertama, jarak antara toilet/tempat wudhu dengan pintu masuk jemaah wanita terlalu jauh. Kedua, ketika ada pembangunan atau perluasan masjid, jemaah perempuan lebih sering dirugikan karena tempat salat bagi perempuan biasanya diletakkan di basement atau teras. Ketiga, tidak ada petunjuk arah tempat wudhu dan toilet. Jika untuk laki-laki tempatnya berdekatan, bagi perempuan cenderung jauh.
Kajian ini diakhiri dengan empat hal dari temuan di atas dan didasarkan pada konsep perencanaan gender dalam kebijakan penataan ruang publik. Kesimpulan sementara bahwa masjid Oman dianggap responsif gender berada dalam kategori netral gender. Kedua, kenyamanan dan ketidaknyamanan terkait penataan ruang dan fasilitas dialami oleh jemaah wanita dan jemaah pria. Ketiga, asumsi yang mempengaruhi penataan ruang dan fasilitas mendiskriminasi satu kelompok gender. Keempat, masjid-masjid di Aceh umumnya diperuntukan untuk laki-laki, hal ini mengakibatkan tata ruang masjid tidak mengakomodir kebutuhan perempuan.
Hasil penelitian secara lengkap dapat dibaca dalam ebook di bawah ini.